PERMASALAHAN JALAN RAYA DI INDONESIA
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi dan
industri yang semakin tahun semakin berkembang, sehingga keberadaan jalan raya
sangat di perlukan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi, seiring dengan
meningkatnya kebutuhan saran transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah
terpencil yang merupakan sentra produksi pertanian. Jaringan jalan raya yang
merupakan praarana transportasi darat yang memegang peranan penting dalam
sector perhubungan, terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan
jasa,serta masyarakat dan untuk pengembangan wilayah. Perkembangan kapasitas
maupun kwantitas kendaraan yang menghubungkan kota-kota antar propinsi dan
terbatasnya dana untuk pembangunan jalan serta belum optimalnya pengoperasian
prasarana lalu lintas yang ada, merupakan persoalan utama di indonesiadan di
banyak negara terutama di negara negara yang sedang berkembang. Perencanaan
peningkatan jalan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan lalu
lintas. Sehubungan dengan permsalahan lalu lintas, maka diperlukan penambahan
kapasitas jalan yang tentu akan memerlukan metoda efektif dalam perancangan
maupun perencanaan agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, tetapi
memnuhi kenyamanan, keamanan dan keselamatan pengguna jalan.
Kecelakaan lalu lintas saat ini merupakan permasalahan
serius bagi negara-negara berkembang. Masalah tersebut sama halnya yang terjadi
di Indonesia dimana di kota-kota besar jumlah kasus kecelakaan cukup banyak.
Berdasar data Kepolisian RI pada tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan
mencapai 13.399 kejadian dengan tingkat kematian mencapai 9.865 orang,
mengalami luka berat 6.142 orang dan luka ringan 8.694 orang. Ironinya, usaha
penanganan kecelakaan lalu lintas yang telah dilakukan oleh pemerintah selama
ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah tersebut. Penanganan masalah
kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia dilakukan dengan mengetahui
kondisi dan perilaku pengguna jalan. Kemudian memberikan beberapa alternatif
usulan sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas. Berdasarkan
sudut pandang tersebut maka dipilih pendekatan psikologi persuasi sebagai
solusi. Upaya penanggulangan kecelakaan lalu lintas dengan pendekatan psikologi
persuasi dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pembangkitan kepedulian,
perencanaan program 5 tahunan, koordinasi dan manajemen keselamatan jalan,
peredaan lalu lintas (traffic calming), kurikulum pendidikan keselamatan lalu
lintas, serta kampanye dan sosialisasi keselamatan lalu lintas.
Salah satu masalah yang sering terjadi pada jalan raya
adalah kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan yang terjadi di jalan raya (road
crash) tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi,
namun disebabkan pula oleh banyak faktor antara lain: kondisi alam (cuaca),
desain ruas jalan (alinyemen vertikal dan horizontal), jarak pandang pengemudi,
kondisi kerusakan perkerasan, kelengkapan rambu atau petunjuk jalan, pengaruh
budaya dan pendidikan masyarakat sekitar jalan, peraturan / kebijakan lokal
yang berlaku dapat secara tidak langsung memicu terjadinya kecelakaan di jalan
raya, misalnya penetapan lokasi sekolah dasar di tepi jalan arteri (Mulyono
dkk, 2009).
Selain itu permasalahan yang sering kita jumpai adalah
kerusakan jalan pada suatu ruas jalan, kerusakan ini bermacam macam, umumnya
ada kerusakan jalan berupa retak-retak (cracking), berupa gelombang
(corrugation), juga kerusakan berupa alur/cekungan arah memanjang jalan sekitar
jejak roda kendaraan (rutting) ada juga berupa genangan aspal dipermukaan jalan
(bleeding), dan ada juga berupa lobang-lobang (pothole). Kerusakan tersebut
bisa terjadi pada muka jalan yang menggunakan beton aspal sebagai lapis
permukaannya.
Sekarang timbul pertanyaan kita, apa penyebab dari
masing-masing kerusakan tersebut?
Penyebab kerusakan jalan adalah akibat beban roda kendaraan
berat yang lalulalang (berulang-ulang), kondisi muka air tanah yang tinggi,
akibat dari salah pada waktu pelaksanaan, dan juga bisa akibat kesalahan
perencanaan.
Kita ambil salah satu bentuk kerusakan yang sering kita
jumpai dan kerusakan tersebut sangat tidak nyaman untuk dilalui adalah
kerusakan berlubangnya jalan, bahkan jalan yang bisa menyerupai kubangan kerbau
(tempat mandi kerbau dengan lumpur) yang hal ini sering kita lihat disawah.
Jelas penyebab utama adalah air. Jika sistim drainase sepanjang jalan tidak
sempurna, termasuk perawatannya, maka air akan naik, bahkan bisa menggenangi
jalan.
Daya dukung tanah pada badan jalan sangat dipengaruhi oleh
kandungan air yang ada dalam tanah tersebut. Jika kandungan air optimum sudah
terlewati maka daya dukung tanah akan menurun,apalagi jika sampai muka jalan
tergenang maka kondisi saturated akan terjadi. Daya lekat antar butiran tanah
menjadi sangat kecil bahkan bisa tidak ada sama sekali, gesekan antar partikal
sangat menurun dan saling mengunci antar butiran sudah tidak bekerja. Pada
kondisi ini kemampuan tanah mendukung beban boleh dikatakan sangat-sangat
kecil. Sedangkan kendaraan tetap akan lewat, akibat beban kendaraan yang
menekan muka jalan maka terjadilah pelepasan ikatan antar butiran pada tanah,
dan akan mengakibatkan permukaan jalan menjadi pecah dan amblas. Nah inilah
proses awal kerusakan jalan tersebut.
Oleh karena itu hampir setiap selesainya musim hujan akan
nampak banyak jalan yang mengalami kerusakan, mulai dari lobang kecil sampai
berlobang yang sangat besar. Jelas ini diakibatkan dari kondisi drainase yang
tidak sempurna. Inilah yang sering dihebohkan yang terjadi dijalan Pantura
Pulau Jawa. Memang banyak cara mengatasi kerusakan jalan. Nah sempurnakanlah
sistim drainase sepanjang jalan agar muka air tanah tidak naik, untuk
memperkecil terjadinya kerusakan jalan.
Berbicara mengenai permasalahan lalu lintas, tentunya kita
tidak akan dapat terlepas dari faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya
mobilitas pergerakan lalu lintas, dimana salah satu dari faktor tersebut adalah
penduduk. Mudah untuk dipahami bahwa tekanan terhadap prasarana dan sarana
transportasi di wilayah perkotaan Indonesia, khususnya Jabotabek sangat
dipengaruhi oleh intensitas dan mobilitas pergerakan penduduk antar bagian
wilayah.
Pada tahun 1990, misalnya, jumlah penduduk tercatat yang
bermukim di wilayah ini telah mencapai lebih dari 17 juta jiwa, dimana 8,2 juta
merupakan penduduk DKI-Jakarta dan 8,9 juta merupakan penduduk Botabek. Jumlah
ini akan senantiasa meningkat, baik yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
alamiah, maupun karena migrasi yang terjadi sebagai akibat dari meningkatnya
harapan ekonomi dan kesempatan kerja di wilayah ini. Untuk periode 1985-1990
misalnya, pertumbuhan penduduk yang terjadi adalah sekitar 2.31 % per tahun
untuk wilayah DKI-Jakarta dan 4,81% untuk wilayah Botabek, sehingga rata-rata
pertumbuhan penduduk untuk keseluruhan wilayah Jabotabek adalah 3,57% per
tahun.
Tingkat pertumbuhan ini diperkirakan akan terus berlanjut
hingga masa yang akan datang, meskipun dengan tingkat pertumbuhan yang
diharapkan akan mengalami penurunan, yaitu rata-rata Jabotabek untuk periode
pasca tahun 2000 menjadi 2,19% per tahun dari 3,11% yang terjadi pada periode
sebelumnya. Diprediksikan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2000 akan mencapai
sekitar 23,3 juta jiwa dan pada tahun 2015 akan mencapai lebih kurang 32,2 juta
jiwa (JMTSS). Jumlah ini berarti hampir mencapai 2x (dua kali) lipat dari
jumlah penduduk yang ada saat ini dan tentunya akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan yang sangat berarti terhadap mobilitas perjalanan orang dan barang,
jumlah kendaraan bermotor dan arus lalu litas jalan raya.
Di wilayah
DKI-Jakarta, jumlah rata-rata perjalanan orang dengan kendaraan bermotor
(motorised trips) yang terjadi antara pk. 6.00 sampai pk. 22.00 telah mencapai
sekitar 9,7 juta perjalanan per hari, dimana sekitar 81% merupakan perjalanan
internal di dalam wilayah DKI, sedangkan 19% sisanya merupakan perjalanan
internal-eksternal dari dan ke wilayah Botabek. Jumlah perjalanan ini akan
senantiasa meningkat setiap tahunnya, dengan peningkatan sekitar 3,6% per tahun
dan pada tahun 2015 diestimasikan akan mencapai 23,7 juta perjalanan per hari.
Dapat
dipastikan bahwa permasalahan lalu lintas yang kronis akan terjadi apabila
penanganan-penanganan yang seksama dan terintegrasi tidak segera dilakukan,
khususnya mengingat bahwa untuk saat ini saja, kondisi kemacetan lalu lintas
telah memprihatinkan dan melanda hampir seluruh jalan-jalan raya yang ada
dengan durasi waktu kemacetan yang tidak terbatas hanya pada saat jam sibuk
saja, melainkan telah tersebar hampir sepanjang hari, khususnya pada daerah
pusat kota.
2.
Ketidakseimbangan antara Prasarana dan Pertumbuhan Jumlah Kendaraan
Penyebab klasik yang sering dikumandangkan sebagai faktor
yang menimbulkan terjadinya permasalahan lalu lintas adalah karena tidak
seimbangnya tingkat pertumbuhan prasarana jalan raya yang saat ini memiliki
panjang sekitar 4500 km jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sarana
kendaraan yang saat ini telah melampaui jumlah 1,5 juta buah. Bahkan menurut
prediksi yang telah disusun secara seksama, ketidak-seimbangan ini akan terus
berlanjut di masa datang dengan angka tingkat pertumbuhan sekitar 5,1% untuk
pertumbuhan kendaraan dan 2% untuk pertumbuhan prasarana jalan raya (JMTSS).
Estimasi jumlah kendaraan pada tahun 2015 diperkirakan akan mencapai lebih dari
4,5 juta buah (tiga kali lipat kondisi saat ini), sedangkan penyediaan
prasarana jalan raya, meskipun akan mengalami peningkatan, namun dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif lebih kecil.
Penelitian yang dilakukan pada Studi Pengembangan Sistem
Jalan Arteri DKI-Jakarta (SPSJA) menyatakan bahwa meskipun total panjang jalan
beraspal yang terdapat di wilayah DKI-Jakarta hampir mencapai 10% dari total
panjang yang terdapat di seluruh pulau Jawa, namun jika ditinjau secara
proporsional dari aspek tata guna lahan, total luas peruntukkan lahan untuk
jalan kota ini hanya sekitar 4% dari total luas wilayah DKI-Jakarta yang
meliputi luas areal sekitar 64 ribu hektar. Hal ini berarti masih berada jauh
di bawah nilai pagu dasar 10-20% yang terdapat pada kota-kota besar di negara
maju. Rendahnya tingkat penyediaan prasarana jalan ini terutama terjadi pada
wilayah-wilayah di bagian Timur, Barat, Barat Laut dan Timur Laut kota
DKI-Jakarta, dimana hal ini telah mengakibatkan rendahnya tingkat aksebilitas
pergerakan penduduk yang bermukim di wilayah-wilayah tersebut untuk menuju ke
wilayah lainnya.
3. Kurang
Memadainya Kualitas dan Kuantitas Pelayanan Angkutan Umum
Indikator yang paling jelas mengenai kurang memadainya
kualitas pelayanan bis yang disediakan adalah tingginya tingkat kelebihan
muatan (Overloading) yang dialami oleh seluruh pelayanan bis, khususnya pada
jam-jam puncak. Studi TNPR menyimpulkan bahwa sekitar 58% dari seluruh
pelayanan angkutan bis mengalami kondisi kelebihan penumpang (Overloaded),
bahkan hampir mencapai 30% pelayanan angkutan mengalami kondisi kelebihan
muatan dengan tingkatan yang berat (Heavily Overloaded). Kondisi ini berlaku
bukan hanya pada pelayanan bis-bis besar di koridor utama saja, melainkan juga
melanda pada jenis-jenis angkutan yang lain, seperti Metro Mini dan Mikrolet.
Ini memberikan arti bahwa pengguna jasa angkutan bis kota harus mengalami
kondisi yang berjejal-jejal dan kurang nyaman setiap kali mereka melaksanakan
perjalanan.
Faktor lain yang merupakan permasalahan di bidang angkutan
umum adalah rendahnya kualitas pelayanan disebabkan oleh tidak memadainya
sistem perawatan; waktu singgah yang lama di terminal-terminal (rata-rata 37
menit/perjalanan) mengakibatkan rata-rata tingkat penggunaan bis hanya menjadi
58%; sistem Wajib Angkut Penumpang (WAP) yang menimbulkan tingkah laku
pengemudi dan awak bis menjadi tidak disiplin; rendahnya tingkat keamanan;
kondisi tempat pemberhentian bis ada terminal yang tidak memadai; kecepatan
yang rendah dan waktu perjalanan yang panjang karena beroperasi pada lalu
lintas yang berbaur (Mixed Traffic).
Hasil survai studi TNPR terhadap penumpang bis
memperlihatkan bahwa hampir separuh dari seluruh perjalanan penumpang
memerlukan sekurang-kurangnya satu kali transfer. Dari sisi pengguna jasa
angkutan umum, semakin banyak jumlah transfer antar bis yang harus dilakukan,
maka semakin besar pengeluaran mereka untuk membayar ongkos perjalanan.
Di sisi kuantitas, proporsi rata-rata dari jumlah bis yang
sebenarnya beroperasi terhadap jumlah bis yang memiliki ijin sebesar 75%
merupakan angka yang relatif agak rendah, bahkan pada lebih dari seperempat
rute-rute yang dioperasikan oleh operator terbesar misalnya, pelayanan yang
sebenarnya disediakan hanya kurang dari 50% pelayanan yang diijinkan. Rata-rata
tingkat penggunaan bis juga sangat rendah, yaitu rata-rata hanya 6 rit operasi
per bis per hari. Kuantitas pelayanan bis yang disediakan secara keseluruhan
ditentukan oleh jumlah bis yang melayani, ukuran-nya, dan kecepatan rata-rata
bis. Lebih dari 75% bis di Jakarta berupa minibus yang efisien untuk
pengoperasian di wilayah pinggir kota (sub-urban), tetapi tidak tepat untuk
fungsi jalur angkutan utama sebagaimana yang digunakan di Jakarta.
4. Penggunaan
Kendaraan Yang Tidak Efisien Dalam Pemanfaatan Ruang
Di samping pengaruh-pengaruh dan faktor-faktor yang
menimbulkan permasalahan lalu lintas sebagaimana diuraikan sebelumnya, perlu
ditekankan pula disini bahwa permasalahan yang paling mendasar adalah karena
besarnya jumlah pemakaian kendaraan yang tidak efisien dalam penggunaan ruang.
Sebagai ilustrasi, meskipun berdasarkan standar internasional, penawaran
angkutan umum di Jabotabek telah relatif tinggi (52,5%), namun sekitar 4,6 juta
perjalanan (47,5% sisanya) masih harus menggunakan angkutan pribadi yang tidak
efisien jika ditinjau dari sudut pandang pemanfaatan ruangnya.
Komposisi kendaraan pribadi yang berjumlah 1,3 juta buah
menempati 86% dari jumlah total kendaraan yang ada di wilayah DKI-Jakarta,
sedangkan secara berturut 2,6% (0,04 juta kendaraan) dan 11,4% (0,17 juta
kendaraan ) sisanya merupakan jenis angkutan umum penumpang dan angkutan
barang. Dari fakta diatas dapat dilihat bahwa kendaraan angkutan umum penumpang
yang hanya menduduki proporsi 2,6% dari total jumlah kendaraan yang berada di
wilayah DKI-Jakarta harus melayani sejumlah hampir 5,1 juta perjalanan,
sedangkan 86% lainnya yang merupakan angkutan pribadi hanya melayani 4,6 juta
perjalanan. Hal ini memberikan arti bahwa, secara rata-rata, setiap kendaraan
angkutan umum melayani 36 kali lebih banyak dari pada kendaraan pribadi.
5. Pesatnya
Pertumbuhan Ekonomi Dan Pembangunan Lahan Utama
Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini, kondisi
perekonomian Indonesia telah meningkat secara pesat yang tercermin dari peningkatan
rata-rata GNP sebesar 5,5% per tahun untuk perode 1983-1989 dan bahkan pada
periode 1988-1989 telah mencapai tingkat pertumbuhan 6,1% per tahun.
Konstribusi DKI-Jakarta terhadap pendapatan nasional ini hampir mencapai angka
12% dengan tingkat pertumbuhan GRDP rata-rata 6,6% per tahunnya.
Pesatnya pertumbuhan ini disebabkan karena meningkatnya
penerimaan devisa negara sebagai akibat dari keberhasilan pelaksanaan
program-program pembangunan di berbagai bidang, khususnya sektor produksi
berupa industri manufaktur yang berskala dan berorientasi ekspor, industri
pariwisata dan ekspor hasil bumi. Pertumbuhan sektor jasa, perdagangan dan
industri non-manufaktur telah pula meningkat secara dramatis mengikuti
pertumbuhan industri dasar tersebut. Migrasi penduduk ke kota-kota besar dan
sentra-sentra produksi, secara tidak dapat dihindarkan, telah pula meningkat
guna memenuhi kebutuhan akan penyediaan tenaga kerja.
Kondisi tersebut diatas memberikan konsekwensi logis berupa
meningkatnya permintaan terhadap pembangunan fisik prasarana, sarana dan
fasilitas penduduk yang pada gilirannya telah mengakibatkan meningkatnya
permintaan terhadap lahan-lahan pembangunan baru guna mengakomodasikan
kebutuhan-kebutuhan tersebut yang disediakan baik oleh Pemerintah maupun sektor
Swasta. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia saat ini tengah mengalami
desakan yang meningkat dari berbagai pihak, khususnya Developer swasta untuk
mengembangkan lahan yang ada, baik yang berskala kecil, sedang maupun besar dan
untuk memperoleh ijin pembangunan Major Real Estate guna kepentingan
kegiatan-kegiatan bisnis, komersil, perdagangan, industri dan perumahan, dimana
desakan tersebut tidak terbatas hanya di wilayah pusat kota saja, melainkan
meliputi pula wilayah lain di sekitarnya.
Tidak dapat dihindarkan bahwa pembangunan-pembangunan yang
telah dilaksanakan tersebut, selain akan lebih memacu lagi pertumbuhan
perekonomian negara dan peningkatan terhadap lapangan pekerjaan, hal ini telah
pula memberikan tekanan yang cukup berarti terhadap prasarana dan sarana
transportasi yang pada sebagian besar kasus, tidak atau belum dirancang untuk
melayani dan menampung beban-beban lalu lintas tambahan yang ditimbulkan oleh
karena adanya pembangunan-pembangunan baru tersebut.
Meskipun permasalahan-permasalahan tersebut tumbuh di
kebanyakan pusat-pusat kota di daerah, sudah barang tentu, masalah tersebut
terutama sangat terasakan pula di ibu kota negara, DKI-Jakarta dan wilayah
sekitarnya, Bogor-Tangeran-Bekasi atau secara keseluruhan wilayah ini lazim disebut
sebagai JABOTABEK. Permintaan terhadap pengembangan lahan di wilayah ini sangat
tinggi, baik untuk kegiatan industri, bisnis, perdagangan maupun perumahan,
bahkan dalam dekade terakhir ini desakan yang kuat dari berbagai pihak untuk
mengembangkan lahan berupa pembangunan yang bersifat masif dan besar (Major
Development) telah semakin meningkat.
Pembangunan utama tersebut yang acapkali disebut pula
sebagai Superblock, meskipun pada dasarnya tidak diragukan lagi akan dapat
meningkatkan pendapatan daerah, peningkatan lapangan kerja, dan bahkan
peningkatan kesempatan terhadap penanaman modal asing, akan tetapi merupakan
suatu keadaan yang nyata dan terbukti bahwa pembangunan-pembangunan semacam itu
akan memberikan tekanan tambahan yang cukup berarti terhadap kapasitas daya
dukung lingkungan, utilitas dan pelayanan umum (listrtik, air bersih, gas,
kebersihan, kemanan), dan khususnya prasarana, serta sarana transportasi yang
ada di wilayah DKI-Jakarta.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, meskipun Pemerintah tidak
bermaksud untuk menghalangi antusiasme bisnis dan komersial yang pada dasarnya
tidak diragukan lagi akan dapat meningkatkan pendapatan daerah, peningkatan
lapangan kerja, dan bahkan peningkatan kesempatan terhadap penanaman modal
asing, akan tetapi merupakan suatu bukti yang nyata bahwa kapasitas daya dukung
fisik, khususnya prasarana jalan raya yang ada akan menjadi tidak mampu untuk
memenuhi tingkat permintaan lalu lintas kendaraan pribadi di masa datang yang
dibangkitkan oleh karena adanya pembangunan-pembangunan yang baru tersebut.
6. Penutup
Meskipun bukanlah suatu hal yang realistis dan hanya
memandang dari sudut pandang supply semata, semua permasalahan lalu lintas yang
telah berpotensi akan terjadi sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya, secara
ekstrim dapat terpecahkan seluruhnya apabila dana yang dimiliki Pemerintah
tidak terbatas. Semua kendala yang berkaitan dengan faktor fisik dapat diatasi
seluruhnya oleh penerapan faktor teknologi yang direncanakan secara seksama.
Secara lebih konkrit, masalah kemacetan lalu lintas dapat
diatasi seluruhnya dengan melaksanakan pembangunan secara besar-besaran
terhadap prasarana jalan raya dan prasarana/sarana angkutan umum yang
berkualitas tinggi, bebas hambatan dan memiliki tingkat keselamatan yang tinggi,
termasuk disini peningkatan dan pelebaran jalan, pembangunan jalan bertingkat
banyak (multy decker), persimpangan tidak sebidang (interchange & flyover)
pada semua simpang yang ada, pembangunan sistem angkutan umum massal cepat
& ringan (Mass Rapid & Light Rail Transits), pembangunan terminal &
penyediaan bis secara masal, dan lain-lain.
Upaya kearah itu telah dilaksanakan oleh Pemerintah dan
beragam langkah, serta tindakan untuk mengurangi masalah lalu lintas dan
menyeimbangkan antara supply dan demand telah pula dilaksanakan. Disamping
telah dilakukannya pembangunan prasarana dan sarana angkutan yang sifatnya
cukup intensif, Pemerintah telah pula melaksanakan pengaturan terhadap sisi
permintaan lalu lintas (management of demand) melalui upaya pengaturan jam
masuk kerja dan sekolah, seta penerapan Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) yang
seringkali dikenal dengan sebutan three in one.
Namun demikian, dalam memberikan pelayanannya kepada
masyarakat, termasuk upaya untuk menyediakan prasarana dan fasilitas-fasilitas
umum bagi penduduk, Pemerintah memiliki kendala dalam hal pembiayaan dan
penyediaan dananya. Terlebih lagi dengan adanya fungsi pemerataan pembangunan
dan keadilan sosial yang harus diemban Pemerintah dalam menjalankan tugasnya,
tentunya hal ini akan lebih membatasi lagi jumlah dana yang dapat disediakan
Pemerintah untuk pembangunan sektor transportasi pada wilayah tertentu,
termasuk disini DKI-Jakarta.
Pihak yang memperoleh nilai tambah dan terlibat secara
langsung dalam memberikan tekanan tambahan terhadap daya dukung fisik,
prasarana & lingkunan, dalam hal ini Developer, harus turut pula dalam
memberikan konstribusinya secara langsung dan nyata untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh pembangunan lahan utama yang mereka
lakukan.
0 komentar:
Posting Komentar